Sebanyak 35% Produksi Pangan Nasional Terbuang

Sebanyak 1,3 milyar ton (18%) pangan dunia terbuang dari total produksi 7 milyar ton pada tahun 2016. Semua penyebab utama adalah tidak baiknya penanganan pasca panen produk hingga ke tangan konsumen (supply chain management) dan bahkan sebanyak 750 juta penduduk dunia mengalami malnutrisi. Lebih parah lagi, Indonesia yang mempunyai kekayaan sumberdaya alam yang tergolong baik diantara negara-negara produsen dunia, sebanyak 35% produksi pangan nasionalnya terbuang percuma.

Pernyataan ini terangkum dari hasil diskusi pertemuan antara Asosiasi Rantai Pendingin Indonesia (ARPI) dengan Kedutaan Besar Belanda beserta beberapa NGO seperti : GAIN, AgriPro Focus, Wageningen University, dan BOP Innovation Center yang menyoroti “minimizing post harvest losses for food nutrition” pada Rabu, 22 Maret 2017 di sekretariat ARPI.

Mereka mengungkapkan, bahwa Indonesia sebagai negara produsen terbilang cukup tinggi membuang produksi pangan nasionalnya (mencapai 35%) karena belum baiknya tataniaga pangan, dan sistem rantai pendingin menjadi salah satu kunci penting dalam pembenahan tata niaga ini. Apalagi Indonesia saat ini mengklaim sebagai negara berporos maritim.

ARPI mengakui atas pernyataan tersebut, yang memang dalam 2 (dua) tahun belakangan ini, berbagai polemik penerapan sistem rantai pendingin tersebut mencuat. Sebagai contoh di produk seafish, jika infrastruktur ataupun fasilitas cold chain mendukung (mulai dari fishing boat, auction area dan land distribution), produk seafish yang terbuang di mata rantai area tersebut hanya 5-10% saja. Berbeda dengan beberapa remote area yang minim fasilitas tersebut, produksi seafish terbuang mencapai 40%.

Di produk hortikultura (buah dan sayur), juga cukup parah kondisinya. Seperti bawang merah dan cabai yang merupakan 2 (dua) komoditas primadona hortikultura dan dapat mempengaruhi goncangan harga bahan makanan sehari-hari masyarakat Indonesia. Dengan adanya dehidrasi (pengeringan) kedua produk tersebut selama tata niaganya, karena tangkai ataupun kulit yang melapisi sangat rentan tergadap suhu panas, penyusutan (atau losses) bisa mencapai 50%. Petani jadi sangat merugi, harga bawang merah di konsumen seharusnya hanya Rp 7.500 per kg di peak season menjadi 2x lipat walau harga di tingkat petani tetap, demikian juga halnya dengan cabai yang jika sedang low season dapat nencapai Rp 100.000 per kg. Tingginya harga produk serta fluktuatif menyebabkan pasokan nutrisi pangan untuk golongan nasyarakat nenengah bawah terganggu.

ARPI sebenarnya melalui anggotanya PT. Pura Agro Mandiri telah menyediakan fasilitas cold storage dengan spesifikasi khusus untuk bawang merah dan cabai di Kudus yang selama ini beberapa proyek pemerintah belum berhasil menyediakan fasilitas cold storage serupa. Dari hasil implementasi bisnis kerjasama dengan kelompok tani dan asosiasi terkait, post harvest losses di kedua produk horti ini dapat ditekan menjadi hanya sekitar 6-8% saja. Petani lebih untung, harga di konsumen lebih terjangkau dan menekan fluktuasinya, dan yang pasti dapat mendukung program kecukupan gizi masyarakat. Kedepan ARPI beserta instansi yang terlibat diatas, akan mensosialisasikan kepada kelompok-kelompok nelayan dan petani kecil bahwa begitu pentingnya sistem rantai pendingin pasca panen.

20170324_093944